Sabtu, 21 November 2015

Kuratorial

ISOTERIK KEMALANGAN

Berbagai macam bentuk persoalan yang dihadapi manusia (personal) maupun dalam relasi persekawanan sosial sangatlah komplek. Terlebih globalisasi dengan arus informasi dan komunikasi yang setiap saat memberikan berbagai fakta sosial, entah itu yang telah dimodivikasi; dimanipulasi; maupun simulasi fakta. Toh, pada kenyataannya kita tidak dapat menafikkanya dan telah menjadi bagian kehidupan manusia serta menjadi persoalan tersendiri. Kemudian yang menjadi isu sentral dan cukup menyita perhatian banyak kalangan adalah persoalan banyak diantara kita meyakini fakta-fakta sosial yang disajikan dalam media informasi secara masal maupun informasi face to face, sebagai sebuah kebenaran sosial maupun personal (subjektif).
Memang kemudahan informasi dan komunikasi dengan perangkat teknologi telah mendukung dalam belajar dengan cepat, bertindak dengan tepat, berfikir dengan benar dan mendukung kemajuan (baca pergeseran) zaman.  Namun dalam prosesnya menyisakan bahkan mereduksi kapasitas refleksi dan menyederhanakan dengan bermuara pada peyakinan terhadap fakta informasi sebagai sebuah kebenaran. Implikasinya manusia  (personal) maupun  persekawanan sosial berbondong-bondong berperan dengan normal dan menikmati dengan “menyenangkan”; sesuai dengan seharusnya yang telah diisyaratkan (norma) dalam fakta sosial yang tersaji dimedia maupun informasi face to face. Dengan bertindak demikian mereka mendapat “kepastian” dan tidak membuat kesalahan. Majalah, TV, media sosial, dan media sosial yang lain menginformasikan mengenai gaya hidup dan bahkan pandangan maupun orientasi hidup.  Bahkan melebihi itu semua, cara-cara mutahir untuk mendapatkan jabatan, kekayan atau jodoh serasi. Entah siapa yang mengklasifikasikannya, semua tersaji di media masa dengan lembaran-lembaran fakta sosial yang diakses secara mudah.
Dampak dunia fakta (apa saja yang tampak) fenomena telah membawa manusia pada jurang tragedi kemanusiaan secara personal. Apa lagi didalam suatu kota urban; Malang; Surabaya; Semarang; Yogjakarta; Bandung; Jakarta dan kota-kota urban lain, dimana pola pertemuan berbagai sub-kebudayaan dengan dinamika fakta-fakta sosial yang dengan cepat silih berganti. Dengan karakteristik perubahan tidak bertahan dalam waktu lama, yang ada hanyalah kebaruan yang bersifat sementara dan bahkan sangat singkat. Secara logis, hal ini mengindikasikan dialektika dengan alur refleksi yang sangat cepat antara manusia dengan fakta sosialnya. Mungkin banyak diantara kita selamat dari tragedi kemanusiaan tersebut tetapi, nampaknya justru lebih banyak yang terselimuti tragedi dengan indikasi sebagai individu tak lebih dari pribadi-pribadi yang bingung untuk menilai mana sebagai prioritas penting bagi hidupnya dan yang tidak.
Secara kontradiktif informasi dan komunikasi dari teknologi memudahkan menjawab dan memecahkan setiap problem yang dihadapi manusia. Dalam pola konsumsi fakta-fakta ternyata merupakan hasil dari interpretasi yang terkait dengan keadaan tertentu dalam suatu peristiwa dan bisa jadi terkait dengan konteks geografis, kultur, ideologis, intelektual, maupun agama. Sekalipun fakta itu kongkrit adanya toh pada kenyataanya masih terlalu sempit diamini sebagai sebuah kebenaran, keindahan, maupun kebaikan.
Maka, tanpa ada penyeleksian terhadap fakta-fakta dengan implikasi suatu refleksi, evaluasi, dan pilihan. Dimana kesadaran pola tersebut merupakan syarat untuk mengambil keguanaan fakta-fakta yang rasional. Secara tidak langsung telah mengantarkan kita pada tragedi kemanusian yang pondasi moralitasnya berdasarkan pada fakta-fakta sosial dan pada hal yang tampak secara empiris.
Berdasarkan uraian diatas pamafest #6 mengusung tema “Isoterik Ke-malang-an”. Dimana wilayah kebatinan, rahasia, imateri, transenden, hakikat atau isoterik ini seolah tidak relevan lagi untuk dipakai sebagai pedoman dalam kehidupan. Dan mungkin kita sepakat kalau kebudayaan hari ini hampir seluruhnya bermuara pada hal yang sifatnya tampak secara fakta, lahiriah, empiris, entah itu termanifestasikan dalam kebendaan, prestis, maupun status yang menjadi orientasi hampir banyak diantara kita. Toh pada kenyataanya kita tidak dapat mengelakkan dari dikotomi isoterik (batin) maupun eksoterik (lahir), keduanya kesatuan yang tidak dapat dipisahakan. Pamafest ini diharapkan mampu membuka ruang-ruang esoteri (rahasia) untuk menetrasi kebudayaan yang telah diselimuti ribuan lapis fakta empiris atau lahiriah. Dari tema “Isoterik ke-Malang-an “ berhasrat untuk menggali;
- Pertama, dimensi terselebung yang mungkin oleh kebanyakan orang tidak diketahui sebab musabab terjadinya tragedi kemanusiaan / kemalangan manusia secara personal.
- Kedua, kompleksitas permasalahan dalam lingkup yang lebih luas kelompok sosial maupun sebuah kota, dengan berbagai permasalahannya. Entah itu gerakan masa, kemacetan, kebisingan, kejahatan, maupun dinamika permasalahan lain.
- Ketiga, bahkan dalam lingkupan lokal malang dengan kompleksnya. Entah itu menyangkut isu hutan kota yang mau dijadikan taman, kemacetan, urbanisasi... dll.

NUR IKSAN (BREYKELE)